Sepotong Cerita di Balik Kematian Tragis Kurt Cobain
Saya punya pengalaman tersendiri dengan musik Nirvana. Saking mengidolakan band dari kota Starbuck Coffee—Seattle—ini saya (bersama dua teman band saya: Arnes dan Eki) menamai band kami Cobain ketika masih kuliah di awal tahun 1999. Setiap kali manggung di berbagai acara musik kampus, orang pasti tahu kalau kami akan membawakan musik-musik Nirvana.
Hampir semua lagu Nirvana bisa kami mainkan. Yang paling sering kami mainkan di atas panggung sebagai musik pembuka ialah Aneurysm. Alasannya sangat mudah ditebak. Lagu ini sangat sangar. Diawali dengan intro riff gitar dan melodi yang cukup panjang. Jadi kami bisa cukup lama beraksi di atas panggung. Arnes menjadi vokalis dan vokal. Eki sebagai drummer. Sedangkan saya main bass, kalau main suka tidak pakai alas kaki seperti gaya Krist Novoselic. Sayangnya, postur tubuh saya tidak setinggi Kris. Mirip sedikit, tapi itu sudah cukuplah untuk meniru gaya permainan bassis favorit waktu itu.
Hampir semua hits Nirvana bisa kami hajar. Sebut saja misalnya, Lithium, Drain You. Come As You Are, In Bloom, Dive, On A Plan, My Girl, Polly, Negative Creep, Breed dan masih banyak lagi. Malah saking seringnya kami mainkan, kebosanan sempat timbul juga. Misalnya, lagu Smell Like Ten Spirit. Kami hanya memainkannya kalau sedang kangen memainkannya saja.
Karena kami membawakan lagu Nirvana, kami tak pernah menang kalau ikut kompetisi band. Ya, wajar saja. Musik Nirvana kerap disebut musik 'gampangan'. Musik Nirvana bisa dimainkan tanpa harus memiliki skill yang tinggi. Kebanyakan band Medan waktu itu membawakan lagu-lagu yang sangar-sangar, misalnya, Power Metal, God Bles, Edane, Dream Theater, Iron Maiden, dan sejenisnya. Mereka dapat memainkan hampir mirip aslinya.
Kalau ikut kompetisi band kampus, Cobain dibilang band yang sia-sia. Kami hanya ikut meramaikan saja tanpa punya harapan untuk jadi juara. Benarlah, kami sendiri tak pernah terpikir untuk meraih juara tiap kali ikut kompetisi band. Kami hanya ingin main musik dan menularkan spirit Nirvana kepada siapa yang mendengar. Itu saja. Yang jelas kami sangat senang dan enjoy dengan musik Nirvana.
Tak hanya musiknya, kami juga sangat suka membicarakan segala sesuatu tentang Nirvana. Beberapa kali kami malah diundang tampil di sekolah. Cukup membanggakanlah...
Tahun 1999 hingga tahun 2002 musik grunge sempat menjadi sumber inspirasi sejumlah band di Medan, termasuk band bernama Cobain. Selain Nirvana, ada beberapa band yang ikut menjadi barometer musik grunge untuk band-band Medan waktu itu, seperti Pearl Jam, Stone Temple Pilot, Bush atau Foo Fighter—band yang dimotori salah satu motor Nirvana, Dave Ghrol. Belakangan, muncul kemudian band-band yang haluan musiknya belum jauh dari genre grunge. Misalnya, Creed atau The Vines. Hingga akhirnya istilah grunge sendiri perlahan-lahan hilang ditelan bumi.
NIRVANA adalah band yang paling berhasil di musik grunge. Sayangnya, band yang memulai debutnya di tahun 1989 dengan mengeluarkan album Bleach—disusul Nevermind (1991) dan , In Utero (1993)—ini harus berakhir karirnya setelah Kurt Cobain tewas, 5 April 1994.
Konon, Kurt meninggal bunuh diri setelah menembakkan pistol ke mulutnya. Ia meninggal di usia 27 tahun. Jasadnya pertama kali ditemukan di rumahnya di Seattle oleh seorang tukang listrik bernama Gary Smith. Spekulasi sempat muncul mengenai kematiannya. Dalam buku berjudul Kurt Cobain & Courtney Love (1996) yang ditulis oleh Nick Wise, muncul dugaan bahwa Kurt bunuh diri akibat depresi tinggi yang dialaminya berkaitan dengan kehidupannya bersama Love.
Kurt sendiri memiliki reputasi sangat buruk dengan obat-obatan. Sehingga sangat rentan kehilangan kontrol dengan dirinya termasuk dengan senjata. Pada sebuah wawancara di tahun 1991, Kurt pernah menyebutkan ia tidak pernah percaya dengan senjata. Apa yang disebutkan Kurt ternyata tidak selalu benar.
Pada 30 Maret malam Kurt lari dari klinik rehabilitasi ketergantungan obat-obatan di Los Angeles tanpa memberitahu siapa pun. Beberapa hari kemudian Love sempat menyewa detektif untuk mengintai Kurt, 3 April 1994—dua hari sebelum kematiannya. Sang detektif sempat menghubungi Kurt yang sudah berada di Seattle, namun Kurt tak mau diajak kembali ke rehabilitasi di Los Angeles.
Masih dalam waktu yang berdekatan, Kurt memaksa seorang temannya untuk membeli senjata, katanya, untuk proteksi diri. Pada 5 April, Kurt kembali ke rumahnya. Dia memakai valium dan heroin dalam takaran yang tinggi. Itulah hari terakhir Kurt. Di akhir hidupnya yang tragis itu, ia hanya meninggalkan secarik kertas berisi tulisan tangannya. Mengutip lirik lagu Neil Young, ia menulis: “better to burn out than to fade away.”
Kurt memang telah pergi. Begitu juga dengan Nirvana. Tapi musiknya masih tetap hidup sampai kini. Grunge will never die! Musiknya masih kerap diputar di ruang-ruang kerja, seperti ketika saya menuliskan artikel ini untuk siapa saja yang punya memori khusus dengan Kurt Cobain dan Nirvana. Selamat jalan, Kurt!
Semoga artikel Sepotong Cerita di Balik Kematian Tragis Kurt Cobain bermanfaat bagi Anda.
Posting Komentar